Cari Blog Ini

Rabu, 25 Mei 2011

Mahasiswa Kupu-Kupu atau Mahasiswa Kura-Kura


Setiap mahasiswa memiliki prinsip berbeda dalam menyikapi studi yang sedang dijalani. Perbedaan itu tidak lepas dari posisi dimana ia meletakkan diri mereka sendiri. Tampaknya wajib bagi mahasiswa membaca Fiqih Prioritas karangan Yusuf Qardhawi, mengingat banyak sekali kegiatan mahasiswa diluar lingkup studinya mana yang harus didahulukan dan mana yang harus dikesampingkan. Ada yang bekerja sambil kuliah, ada yang berorganisasi sambil kuliah, bahkan adapula yang kuliah sambil berkeluarga, walau ia masih dalam tingkat pertama. Dan pasti demi tercapainya sesuatu dengan sempurna terkadang ada yang perlu diprioritaskan.

Dari berbagai macam ‘sambil.....’ diatas, berorganisasi adalah yang paling banyak digeluti mahasiswa. Berorganisasi menjadi lauk bagi studi mahasiswa bangku kuliah. Namun ada sebagian mereka yang belum bisa menempatkan studi dan organisasi kepada tempat yang semestinya.

Dalam kaitannya mahasiswa dan organisasi, ada yang menamakan diri mereka sebagai mahasiswa kupu-kupu atau disebut juga kuliah-pulang, kuliah-pulang. Kelompok mahasiswa kupu-kupu biasanya mereka yang selalu eksis dalam kuliahnya namun enggan untuk terjun dalam dunia sosial mahasiswa atau luar. Kebanyakan dari kelompok ini lebih memilih untuk tidak ikut dalam kegiatan intra atau ekstra kampus. Tidak ingin menyibukkan diri dengan hal-hal diluar dari kuliahnya.  Memprioritaskan penuh studi di kampus demi mencapai nilai tinggi dan lulus tepat waktu.

Sebagian lain menamakan diri sebagai mahasiswa kura-kura atau disebut juga kuliah-rapat, kuliah rapat. Kelompok mahasiswa kura-kura biasanya mereka yang selain kuliah namun juga aktif dalam organisasi intra maupun ekstra kampus, baik sebagai anggota ataupun dalam struktural. Bahkan sebagian mereka lebih mengedepankan kegiatan non-kuliah dari pada studinya di kampus. Sehingga rela untuk tidak masuk kuliah beberapa kali demi kegiatan yang ia ikuti di organisasinya. Mereka beranggapan bahwa organisasi lebih penting dan mempunyai dampak positif yang riil bagi kehidupan.  Dan yang terjadi banyak dari mereka yang lulus terlambat dengan nilai yang kurang memuaskan.

Dua kelomok mahasiswa itulah yang menjadi persepsi mahasiswa kebanyakan saat ini. Namun tidak semua anggapan itu benar karena baik mahasiswa yang memiliki karakter kupu-kupu ada pula yang terlambat lulus bahkan dengan nilai yang kurang memuaskan . Begitupula yang memiliki karakter  kura-kura, tidak sedikit dari mereka yang lulus tepat waktu bahkan dengan nilai yang memuaskan. Keduanya tak lepas dari berbagai macam hujjah dari masing-masing mahasiswa.

Dalam hidup bermahasiswa, studi dan organisasi merupakan hal pokok yang harus diikuti. tidak mengabaikan salah satunya atau bahkan meninggalkannya. Mahasiswa yang mengedepankan studi dan menafikan keorganisasian biasnya memiliki nilai rendah dalam bersosial dengan mahsiswa lain dan akan memiliki kecendrungan lebih besar untuk canggung dalam bermasyarakat. Sedangkan mahasiswa yang mengedepankan berorganisasi dan mengabaikan studinya, bianya lebih dapat bersosial dengan mahasiswa lain namun memiliki nilai rendah dalam dunia kerja yang mengedepankan akademik dan legalitas studi yang ditempuh.Dari penjelasan itu, maka kedua karakter memiliki nilai min dan plus dari berbagai sudut pandang masing-masing.

Sebagai mahasiswa yang akademisi dan memiliki tanggung jawab besar di tangah masyarakat nanntinya, maka layaknya untuk tidak menjadi keduanya secara fanatis. Namun berjalan ditangah-tengah keduanya secara sejajar dan aktif. Artinya tidak meniggalkan salah satunya dan menjalankan keduanya dengan totalitas yang tinggi. Keduanya menjadi prioritas yang sama.

Namun sebagaian mahasiswa biasanya tidak dapat melakukan dua kegiatan ini —studi dan berorganisasi— secara totalitas. Keduanya dapat dijalankan namun salah satu tidak menjadi prioritas. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik yang dijadikan prioritas adalah studinya. Karena studi itulah yang sebenarnya menjadikan mahasiswa itu adalah mahasiswa, yaitu keberadaan studi alasan adanya berorganisasi. Namun sekali lagi, organisasi tetap diikuti walau bukan menjadi prioritas.

Terkadang mahasiswa yang belum pernah terjun dalam berorganisasi dan berminat untuk ikut andil, bingung dalam memilih organisasi. Karena memang organisasi yang diikuti oleh seorang mahasiswa akan banyak membentuk kepribadian mereka terutama bila organisasi itu adalah organisasi ekstra yang biasnya mengedepankan pembentukan karakter dan perjuangan. 

Dalam memilih sebuah organisasi, lebih baik mahasiswa mengetahui tujuan mereka dalam memilih organisasi. Apa yang ingin mereka perjuangkan? Apa yang ingin mereka inginkan? Apa yang ingin mereka kembangkan bagi diri mereka sendiri dan organisasi itu. Bila telah mengetahui tujuannya maka mereka dapat memilih organisasi yang tepat dan sesuai dengan diri mereka sendiri. Mengapa harus sesuai dengan diri?. Ini demi mencegah hal yang tidak dinginkan bagi diri mahasiswa itu dan apa, siapa yang ada didalam organisasi itu. Sehingga bila telah masuk dalam sebuah organisasi, ia tidak terputus ditengah jalan karena ketidak cocokan yang dihadapinya.

Mahasiswa juga bisa memilih organisasi yang memiliki karakter atau basic yang dapat membantu studinya. Artinya, organisasi yang diikuti memiliki kesamaan visi dan misi yang dengan jurusan yang diambil. Sehingga organisasi yang diikuti banyak membantu dalam studinya. Misalnya, mahasiswa yang jurusannya dalam bidang keolahragaan dapat memilih organisasi yang juga berlatar olahraga.

Selain itu, mahasiswa juga dapat memilih organisasi yang memiliki ruang lingkup yang dia hobi. Biasanya bidang organisasi yang diikuti karena merupakan hobi baginya, ia dapat lebih enjoy dan eksis dalam berorganisasinya di dalamnya. Walaupun organisasi itu tidak memiliki keterkaitan dengan jurusan yang ditempuhnya.

Sekali lagi, studi dan organisasi menjadi dua komponen yang penting bagi setiap mahasiswa. Rasanya tidak dapat dikatakan benar-benar mahasiswa bila tidak mengikutu suatu organisasi. Begitupula tidak mungkin dikatakan menjadi mahasiswa yang organisatoris bila dia tidak pernah melakukan studi di sebuah lembga pergutuan tinggi.

Terlepas dari apa tujuan masuk organisasi dan organisasi apa yang menjadi pilihan setiap mahasiswa, ingat! Semua harus benar-benar diperjuangkan dengan aturan main yang sudah ditetapkan. Baik itu aturan organisasi itu sendiri dan terlebih aturan yang sudah menjadi kewajiban kita mengikutinya, Al-Quran dan As-Sunnah. Mau tidak mau, perjuangan Indonesia dari dulu sampai sekarang tidak lepas dari kontribusi mahasiswa. Hidup mahasiswa!
Allahu’alam





Nilai Tinggi Tidak Penting?


Jika pelajar ditanya, apa orientasimu mendapat nilai tinggi dalam studi? Dapat dipastikan jawaban setiap pelajar akan berbeda, mungkin juga ada sebagian dari mereka tidak dapat menjawab.

Perbedaan jawaban dari setiap pelajar bila diajukan pertanyaan semisal sangatlah lumrah. Ada yang menjawab untuk mempermudah melanjutkan studi yang lebih tnggi, adapula yang menjawab untuk mempermudah mencari pekerjaan, kasihan orang tua, biar tidak malu dengan teman dan pacar serta jawaban yang berbeda lainnya.

Namun ternyata kita bukan hanya manusia yang dimanusiakan, lebih dari itu kita adalah hamba Allah dan umat rasulNya yang paling mulia dan paling berpengaruh di jagad raya ini. Bolehlah kita menjawab pertanyaan tentang nilai dengan berbagai orientasi keduniaan tetapi perlu diketahui bahwa Islam telah menganjurkan seseorang untuk mendapat nilai yang tinggi bukan hanya pada nilai dalam studi, namun seluruh nilai aplikasi kehidupan ini.

Tidak benar jika pelajar menganggap nilai itu tidak penting. Sebagian mereka yang beranggapan seperti itu lebih memilih esensi dari nilai baik itu sendiri, dengan mengatakan, “Saya dengan nilai jelek lebih mampu daripada dia yang bernilai tinggi dalam hal .......”. jika demikian, bagaimana bila saya ajukan agar anda menjadi orang yang mampu dalam hal ....... namun juga memiliki nilai baik. Bukankah itu lebih baik. Nah.... ternyata nilai yang baik itu penting. Karena nilaimu adalah ibadahmu. Mulailah menyadari kalau nilai itu penting, bila ditanyakan pertanyaan itu dengan menjawab...

Pertama, Allah berfirman di dalam Al-Quran surat Al-Mulk ayat 2 yang artinya, “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. Dari arti ayat tersebut, Allah akan melihat siapa yang lebih baik amalnya dalam segala aspek praktek kebaikan dalam hidup ini. Tersirat bahwa Allah lebih menghendaki hambaNya yang memiliki nilai tinggi dalam segala aspek untuk dibalas dengan kebaikan yang tinggi pula. Balasan Allah sesuai dengan apa yang dikerjakan manusia, baik kualitas dan kuntitas amalnya. Dan sangat logis bila Allah lebih mencintai hambaNya yang lebih baik amalnya dari yang terbaik.

Kedua, anjuran Rasulullah kepada umatnya dalam mengerjakan sesuatu yaitu itqon. Mengerjakan sesuatu dengan optimal dan profesional. Terkait dengan nilai dalam studi, nilai yang maksimal cermin dari belajar dan usaha yang maksimal. InshaAllah.   

Ketiga, salah satu kewajiban muslim yang tidak pernah lepas sampai akhir hayat adalah dakwah. Metode dakwah yang sangat mudah dan memiliki pengaruh yang besar adalah menjadi qudwah bagi mad’unya. Kalau nilai anda jeblok bin anjlok, bagaimana anda bisa jadi qudwah bagi yang lain?

Keempat, biasanya setiap orang akan menilai anda dengan mindset yang mereka punya. Memiliki nilai tinggi dalam studi membentuk mindset orang lain kepada anda baik, sebaliknya nilai rendah dalam studi biasanya membentuk mindset kepada kemalasan. Padahal Rasulullah menganjurkan kepada anda untuk memperindah tampilan (mindset) agar menjadi terhormat ditengah masyarakat. Hal ini juga terkait dengan jalan dakwah anda.

Kelima, jika anda tidak percaya bila nilai sebagai salah satu performa, saya ingin bertanya, “Apa performen anda yang sekarang dapat dicontoh aktivis lainnya?” bila tidak berharta banyak, tapi kokoh aqidahnya, walau harus disiksa, depecat dari pekerjaan dan dihina, istiqomah adzan dan sholat jma’ah setelah wudhu’, rutinitas sehari-hari dan berbagai macam kegiatan sehingga terompanya didengar di surga?.

Keenam, melihat keadaan negara kita saat ini membuat kita miris. Negara ini membutuhkan SDM yang unggul. Kedepan, SDM kita dituntut memiliki dan memenuhi persyaratan formal, pendidikan, jabatan, pengalaman, kemampuan, integritas moral, agar negeri ini berjaya jika kita yang mengelolanya.  untuk itu mahasiswa perlu membuat pengalaman sukses-sukses kecil agar ia bisa membuat sukses yg besar. Salah satunya dengan mendapat nilai yang tinggi dalam studi. Itu salah satu sukses kecil.

Ketujuh, semua Nabi cerdas dalam segala hal . Sehingga dapat merumuskan solusi bagi umatnya, solusi bagi dirinya sendiri dan solusi bagi keluarganya. Kecerdasan memiliki indikasi untuk cepat dalam memecahkan masalah. Pelajar sebagai salah satu dari jutaan umat Rasul, seharusnya mengambil qudwah darinya. Bagaimana dikatakan cerdas jika nilai yang didapat dalam studi tidak memuaskan karena hanya soal dari para guru maupun dosen?

Kedelapan, suatu saat nanti anda akan berkeluarga dan mempunyai anak. Jika nanti anak anda bertanya, “mana nilai bapak waktu sekolah?” walau anda sukses dengan nilai jelek, tapi keteladanan yang sempurna bagi anak sangatlah berpengaruh. Bukankah sukses dengan nilai yang baik lebih menjadi teladan bagi anak anda.

Kesembilan, bukan terakhir. Nilai jelek, terlambat lulus atau bahkan tidak lulus adalah hal buruk yang tidak patut menjadi contoh dan dicontoh.

Kesepuluh, dan untuk seterusnya bisa anda cari sendiri.  

Sekiranya jawaban seperti ini lebih menunjukkan jati diri kita sebagai hambaNya. Lebih mengandung moral kemanusian yang tidak berorentasi hanya untuk mengikuti keegoisan diri. Kita mengetahui rumus kehidupan bukan ikhtiar lalu Allah tapi Allah, ikhtiar, Allah. Jangan lupa ilah kita. Dan juga mengetahui betapa pentingnya nilai itu.

Kini saatnya bagi anda dan saya untuk memperbaharui niat (tajdid an-niat). Mengubah segala orientasi duniawi kepada orientasi ilahi. Menyandarkan semua urusan kepadaNya. Sehingga saat kesulitan yang kita hadapi, jauh disana menunggu kemudahan penuh kebahagian. Semoga Allah selalu membimbing kita pada jalanNya. Amin

Allahu’alam

Selasa, 24 Mei 2011

Kekuasaan Negara Indonesia Dalam Perspektif Islam


Di dalam bukunya yang berjudul Islam dan Tata Negara, Munawir Sjadzali membagai umat Islam menjadi tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa  Islam bukanlah agama yang semata hanya menyangkut hubungan manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan mencakup segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Beberapa tokoh yang sependapat antara lain Syekh Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb dan Maulana Al-Madudi. 

Aliran kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama yang di dalamnya tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Tokoh terkemuka dalam aliran ini antara lain Ali Abd Al-Raziq dan Dr. Thaha Husein.

Sedangkan aliran yang ketiga berpendirian bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap yang memiliki seperangkat tatanan etika bagi kehidupan bernegara namun tidak terdapat di dalamnya sistem ketatanegaraa. Aliran ini juga menolak anggapan Islam hanya mengatur hubungan manusia dan Maha Penciptanya. Di antara tokoh yang paling menonjol dari aliran ini adalah Dr. Mohammad Husein Haikal.

Terkait tentang hubungan antara Islam dan tata negara serta awal mula munculnya negara dan kekusaan, beberapa pemikir politik Islam, baik pada zaman klasik maupun pemikir kontemporer saat ini memiliki pendapat yang berbeda dari satu sisi dan sama dari sisi yang lain.  

Ibnu Abi Rabi’ berpendapat bahwa Allah menciptakan manusia dengan watak kecendrungan untuk berkumpul, bermasyarakat dan saling membutuhkan.

Farobi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang memiliki kecendrungan bermasyrakat karena tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri.

Mawardi berpendapat bahwa Allah menciptakan manusia agar tidak sanggup memenuhi kebutuhannya orang-seorang. Manusia adalah makhluk yang paling memerlukan bantuan pihak lain.

Ghazali berpendapat bahwa manusia adalah makhlik sosial yang butuh dengan bantuan orang lain dalam berketurunan dan membantu menyediakan bahan makanan.

Dari pendapat pemikir klasik di atas terkesan mirip satu sama lain dan tampak serupa dengan pendapat Plato dengan teori etikanya. Namun para pemikir Islam klasik memasukkan paham ketuhanan yang itu tidak dilakukan Plato.

Jauh setelah zaman klasik, para pemikir politik Islam kontemporer memiliki pendapat lain. Al-Afghani, Abduh dan Rasyid Ridho (ketiganya memiliki hubungan guru murid) memiliki pendapat serupa dengan Sayyid Quthb dan kalangan Ikhwan Al-Muslimin yaitu Islam adalah agama yang sempurna dengan petunjuk yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu Islam sebagai agama yang diridhoi Allah, dalam bernegara hukum Allah pula sebagai aturan yang berlaku dalam suatu negara. Pendapat ini tampak serupa dengan teori teokrasi tidak langsung (civitas dei).

Muhammad Abduh, meskipun mempunyai konsep yang utuh namun beliau berpendirian serupa dengan Muhammad Husain Haikal yaitu, tidak ada lembaga yang memegang kekuasaan dan mempuyai kewenangan sebagai wakil Tuhan di bumi. Baginya kepala negara adalah seorang penguasa sipil yang diangkat dan dapat diberhentikan oleh rakyat dan kepada mereka dia bertanggung jawab. Hal ini tampak serupa dengan teori perjanjian yang dikeluarkan oleh J.J. Rousseau. Negara yang lahir dari konstruksi J.J. Rousseau disebut negara demokrasi.

Dari berbagai pendapat para pemikir politik Islam kalasik dan kontemporer, penulis lebih memilih untuk memadukan beberpa konstruk mereka. Sebagaimana pendapat Inu Kencana Syafi’e di dalam bukunya Ilmu Pemerintahan dan Al-Quran, bahwa negara berdiri atas kemauan warganya juga karena izin dan kuasa dari Allah jua. Jadi, negara itu sendiri pada dasarnya statis dan deskriptif, namun pemerintahannya dinamis. Atau juga disebut dengan nagara dengan kekuasaan teokrasi (tidak langsung) demokratis.

Indonesia merupakan negara mayoritas penduduk muslim terbesar. Dalam sejarahnya, paham keagamaan di Indonesia —jauh sebelum penjajahan Belanda— dimotori oleh kalangan modernis dan tradisionalis. Dikotomi kaum modernis-tradisionalis yang semula pada ranah keagamaan, kemudian merambat kepada budaya, sosial dan politik. Bahkan dalam beberapa tahun mendekati hari kemerdekaan Indonesia, kontras pergolakan politik lebih eksplisit daripada paham keagaaman. Hal itu masih terlihat sampai sekarang, setelah 65 tahun Indonesia merdeka.

Perjalanan politik Indonesia menuju kemerdekaan —menjadi sebuah negara— tidak lepas dari jajahan diktator Belanda. Sehingga penduduk Indonesia yang ingin keluar dari repreasi Belanda menginginkan sebuah kemerdekaan yang konstitusional. Hal tersebut terwujud saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dan memilik sebuah pemerintahan yang pada saat itu dipimpin oleh Soekarno dan Hatta.  

Proses terbentuknya Indonesia sebagai negara, menurut singkat penulis adalah proses yang timbul karena penduduk Indonesia telah mengalahkan penjajah dan penduduk Indonesia menginginkan kemerdekaan Indonesia agar terlepas dari jajahan diktator Belanda. Dua proses yang dikedepankan penulis dalam teori tentang asal usul negara disebut teori penaklukan (kekuatan) dan teori historis. Namun tidak cukup itu, penulis sebagai seorang muslim yang memiliki ideologi bahwa Islam sebagai agama yang sempurna maka kemerdekan Indonesia dari jajahan Belanda tidak lepas atas kehendak Allah SWT.

Maka kemerdekaan Indonesia menjadi sebuah negara yang memiliki konstitusi pasca penjajahan Belanda pada dasarnya melalui kekuatan pembelaan penduduk Indonesia yang historis dan teokratis. Hal ini didasari atas firman Allah dalam Al-Quran tentang teori penaklukan yang artinya.

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya, tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah . . . . (QS. Al-Hujuraat: 9)

Dan teori historis yang didasari kemauan  dan tututan penduduk Indonesia untuk memiliki negara yang merdeka, sebagaimana Allah berfirman.

. . . . sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri . . . . (QS. Ar-Ra’du: 11)

Dan semua yang terjadi di alam ini adalah kehendak Allah.

Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada Manusia. (QS. Al-Hajj: 65)

Allahua'lam.

Senin, 23 Mei 2011

Poligami: Syarat atau Sebab

Setelah teman-teman sekelas mempresentasikan makalahnya yang berjudul ‘Hukum Wadh’i’, moderator membuka sesi tanya jawab. Seperti biasa karena jumlah laki-laki di kelas lebih banyak dari perempuan, untuk cermin pertama moderator mempersilahkan dua penanya dari laki-laki dan satu penanya dari perempuan. 

Kemudian salah satu teman yang duduk tepat disampingku mengangkat tangan dan bertanya pada pemakalah, “Terimakasih”. Ucapnya sebagai pembuka pertanyaan. Kemudian dia melanjutkan pertanyaannya, “Di dalam surat An-Nisa’ ayat tiga tentang poligami, disana terdapat ayat yang berbunyi wa in khiftum allaa ta’diluu yang mengisyaratkan anjuran berbuat adil dalam berpoligami. Dari keterangan ini, yang saya tanyakan apakah berbuat adil itu menjadi syarat atau sebagai sebab daripada perbuatan poligami?”.

Dari pertanyaan inilah saya mencoba untuk berpendapat sekaligus bisa menjadi jawaban bagi yang menanyakan. Namun pembaca perlu mengetahui dengan kelemahan iman yang saya miliki, pengetahuan dari pendapat saya masih dalam tahap ‘keinginan’ untuk mengetahui, belum kepada tahap ‘praktis’ dalam bermuamalah. Saya akan memulai dengan menyertakan arti dari surat An-Nisa’ ayat 3.

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS: An-Nisa’: 3)

Kata ta’diluu pada ayat di atas yang berarti anjuran berbuat adil bagi seseorang yang poligami, baik menjadi syarat atau sebab. Adil yang dimaksud adalah adil dalam ranah pernikahan poligami dan keluarga poligami. Dalam kajian fiqih, adil yang dimaksud dalam ayat ini adalah barsifat materi, misalnya nafkah. Sedangkan non-materi tidak menjadi kajian fiqih karena sifatnya yang abstrak, misalnya perasaan cinta. Dalam pembahasan selanjutnya, kata adil berarti yang bersifat materi bukan non-materi.

Kemudian yang menjadi pertanyaan sebagaimana yang telah ditanyakan teman saya, apakah berbuat adil itu menjadi syarat sebelum perbuatan poligami itu atau menjadi sebab karena telah melakukan poligami?. Sebelum saya lanjutkan pembahasan ini, lebih baik saya hadirkan penjelasan dari syarat dan sebab yang merupakan bagian dari hukum wadh’i.

Hukum wadh’i adalah hukum yang diletakkan oleh Allah sehingga menimbulkan adanya hukum taklifi. Sehingga keabsahan hukum taklifi disebabkan adanya hukum wadh’i. Hukum wadh’i terbagi menjadi tiga, yaitu:

Sebab, secara bahasa berarti sesuatu yang bisa menyampaikan orang kepada suatu yang lain. Secara istilah adalah sesuatu yang dijadikan syariat sebagai tanda bagi adanya hukum dan tidak adanya sebab menjadi tanda tidak adanya hukum. Misalnya, masuknya waktu romadhon sebagai sebab wajibnya berpuasa romadhon.

Syarat, secara bahasa berarti sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain. Secara istilah adalah sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain dan berada diluar hakikat sesuatu itu. Misalnya, wudhu’ menjadi syarat sahnya sholat, namun wudhu’ bukan termasuk bagian dari sholat.

Mani’, secara bahasa berarti penghalang bagi sesuatu. Secara istilah adalah sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang adanya hukum. Misalnya, haidh menjadi penghalang bagi wanita untuk melaksanakan sholat maupun puasa.

Dua bagian pertama dalam pembagian hukum wadh’i, akan menjadi pembahasan, jawaban dan pilihan dari pendapat saya, yaitu sebab dan syarat. Demi mencapai penilaian yang obyektif, saya akan membahas dua jawaban tersebut, adil sebagai syarat dan adil sebagai sebab.

Adil Sebagai Syarat
Jika adil menjadi syarat poligami, maka seseorang yang hendak berpoligami harus memiliki sikap adil sebelum dia melakukan poligami. Hal ini senada dengan pengertian dari syarat itu sendiri. Sehingga jika seseorang melakukan poligami sebelum dia dapat berlaku adil, maka pernikahan poligaminya tidah sah. Karena adil menjadi syarat sebelum terjadinya poligami.

Adil Sebagai Sebab
Jika adil menjadi sebab karena adanya poligami, maka seseorang yang hendak berpoligami tidak harus memiliki sikap adil. Kewajiban berbuat adil datang setelah dia melakukan poligami. Sehingga seseorang yang telah berpoligami, namun sebelum berpoligami dia belum memiliki sikap adil maka pernikahan poligaminya tetap sah. Karena kewajiban berbuat adil jatuh setelah pernikahan poligami.

Sesuatau yang menjanggal ketika poligami menjadi syarat untuk berbuat adil adalah bagaimana seseorang itu melakukan perbuatan adil dalam poligami sedangkan dia sendiri belum melakukan poligami?. Hal inilah yang kemudian pilihan saya lebih condong kepada adil sebagai sebab dari poligami.

Terlepas adil sebagai syarat atau sebab poligami, ketahuilah!. Laki-laki yang berpoligami dan dia sanggup berbuat adil terhadap istri-istrinya , anak-anak dari istri-istrinya serta keluarga dan kerabat dari istri-istrinya kemudian istri-istrinya taat setia kepada suaminya lillahita’ala, sungguh balasan kebaikan yang Alloh berikan kepada mereka—baik suami dan istri-istrinya— lebih besar daripada laki-laki yang setia terhadap satu istri dan istri salehah yang tidak dimadu. Sebaliknya, laki-laki yang berpoligami dan dia tidak berlaku adil terhadap istri-istrinya, anak-anak dari istri-istrinya serta keluarga dan kerabat dari istri-istrinya kemudian istri-istrinya enggan melakukan tanggung jawab sebagai istri dan tidak saling menasehati, sungguh balasan keburukan yang Alloh berikan lebih besar dari pada seorang suami yang meninggalkan kewajibannya dan istri yang tidak lagi taat pada suaminya. Allahu’alam