Cari Blog Ini

Senin, 23 Mei 2011

Poligami: Syarat atau Sebab

Setelah teman-teman sekelas mempresentasikan makalahnya yang berjudul ‘Hukum Wadh’i’, moderator membuka sesi tanya jawab. Seperti biasa karena jumlah laki-laki di kelas lebih banyak dari perempuan, untuk cermin pertama moderator mempersilahkan dua penanya dari laki-laki dan satu penanya dari perempuan. 

Kemudian salah satu teman yang duduk tepat disampingku mengangkat tangan dan bertanya pada pemakalah, “Terimakasih”. Ucapnya sebagai pembuka pertanyaan. Kemudian dia melanjutkan pertanyaannya, “Di dalam surat An-Nisa’ ayat tiga tentang poligami, disana terdapat ayat yang berbunyi wa in khiftum allaa ta’diluu yang mengisyaratkan anjuran berbuat adil dalam berpoligami. Dari keterangan ini, yang saya tanyakan apakah berbuat adil itu menjadi syarat atau sebagai sebab daripada perbuatan poligami?”.

Dari pertanyaan inilah saya mencoba untuk berpendapat sekaligus bisa menjadi jawaban bagi yang menanyakan. Namun pembaca perlu mengetahui dengan kelemahan iman yang saya miliki, pengetahuan dari pendapat saya masih dalam tahap ‘keinginan’ untuk mengetahui, belum kepada tahap ‘praktis’ dalam bermuamalah. Saya akan memulai dengan menyertakan arti dari surat An-Nisa’ ayat 3.

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS: An-Nisa’: 3)

Kata ta’diluu pada ayat di atas yang berarti anjuran berbuat adil bagi seseorang yang poligami, baik menjadi syarat atau sebab. Adil yang dimaksud adalah adil dalam ranah pernikahan poligami dan keluarga poligami. Dalam kajian fiqih, adil yang dimaksud dalam ayat ini adalah barsifat materi, misalnya nafkah. Sedangkan non-materi tidak menjadi kajian fiqih karena sifatnya yang abstrak, misalnya perasaan cinta. Dalam pembahasan selanjutnya, kata adil berarti yang bersifat materi bukan non-materi.

Kemudian yang menjadi pertanyaan sebagaimana yang telah ditanyakan teman saya, apakah berbuat adil itu menjadi syarat sebelum perbuatan poligami itu atau menjadi sebab karena telah melakukan poligami?. Sebelum saya lanjutkan pembahasan ini, lebih baik saya hadirkan penjelasan dari syarat dan sebab yang merupakan bagian dari hukum wadh’i.

Hukum wadh’i adalah hukum yang diletakkan oleh Allah sehingga menimbulkan adanya hukum taklifi. Sehingga keabsahan hukum taklifi disebabkan adanya hukum wadh’i. Hukum wadh’i terbagi menjadi tiga, yaitu:

Sebab, secara bahasa berarti sesuatu yang bisa menyampaikan orang kepada suatu yang lain. Secara istilah adalah sesuatu yang dijadikan syariat sebagai tanda bagi adanya hukum dan tidak adanya sebab menjadi tanda tidak adanya hukum. Misalnya, masuknya waktu romadhon sebagai sebab wajibnya berpuasa romadhon.

Syarat, secara bahasa berarti sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain. Secara istilah adalah sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain dan berada diluar hakikat sesuatu itu. Misalnya, wudhu’ menjadi syarat sahnya sholat, namun wudhu’ bukan termasuk bagian dari sholat.

Mani’, secara bahasa berarti penghalang bagi sesuatu. Secara istilah adalah sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang adanya hukum. Misalnya, haidh menjadi penghalang bagi wanita untuk melaksanakan sholat maupun puasa.

Dua bagian pertama dalam pembagian hukum wadh’i, akan menjadi pembahasan, jawaban dan pilihan dari pendapat saya, yaitu sebab dan syarat. Demi mencapai penilaian yang obyektif, saya akan membahas dua jawaban tersebut, adil sebagai syarat dan adil sebagai sebab.

Adil Sebagai Syarat
Jika adil menjadi syarat poligami, maka seseorang yang hendak berpoligami harus memiliki sikap adil sebelum dia melakukan poligami. Hal ini senada dengan pengertian dari syarat itu sendiri. Sehingga jika seseorang melakukan poligami sebelum dia dapat berlaku adil, maka pernikahan poligaminya tidah sah. Karena adil menjadi syarat sebelum terjadinya poligami.

Adil Sebagai Sebab
Jika adil menjadi sebab karena adanya poligami, maka seseorang yang hendak berpoligami tidak harus memiliki sikap adil. Kewajiban berbuat adil datang setelah dia melakukan poligami. Sehingga seseorang yang telah berpoligami, namun sebelum berpoligami dia belum memiliki sikap adil maka pernikahan poligaminya tetap sah. Karena kewajiban berbuat adil jatuh setelah pernikahan poligami.

Sesuatau yang menjanggal ketika poligami menjadi syarat untuk berbuat adil adalah bagaimana seseorang itu melakukan perbuatan adil dalam poligami sedangkan dia sendiri belum melakukan poligami?. Hal inilah yang kemudian pilihan saya lebih condong kepada adil sebagai sebab dari poligami.

Terlepas adil sebagai syarat atau sebab poligami, ketahuilah!. Laki-laki yang berpoligami dan dia sanggup berbuat adil terhadap istri-istrinya , anak-anak dari istri-istrinya serta keluarga dan kerabat dari istri-istrinya kemudian istri-istrinya taat setia kepada suaminya lillahita’ala, sungguh balasan kebaikan yang Alloh berikan kepada mereka—baik suami dan istri-istrinya— lebih besar daripada laki-laki yang setia terhadap satu istri dan istri salehah yang tidak dimadu. Sebaliknya, laki-laki yang berpoligami dan dia tidak berlaku adil terhadap istri-istrinya, anak-anak dari istri-istrinya serta keluarga dan kerabat dari istri-istrinya kemudian istri-istrinya enggan melakukan tanggung jawab sebagai istri dan tidak saling menasehati, sungguh balasan keburukan yang Alloh berikan lebih besar dari pada seorang suami yang meninggalkan kewajibannya dan istri yang tidak lagi taat pada suaminya. Allahu’alam





Tidak ada komentar:

Posting Komentar