Cari Blog Ini

Minggu, 22 Mei 2011

Fiqih Dinamis


Fiqih menurut bahasa berarti paham (al-fahmu). Dan fiqih menurut istilah ahli Ushul adalah mengetahui hukum-hukum Agama dengan jalan ijtihad. Kata dinamis dalam kamus populer berarti senantiasa bergerak, berkegiatan, selalu berubah.
Dalam perkembangannya fiqih saat ini merujuk pada lima madzhab. Empat madzhab diantaranya yaitu Madzhab Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali yang dijadikan rujukan kaum sunni dan yang terakhir Ja’far, menjadi rujukan kaum syiah.
Fiqih para imam madzhab merupakan hasil produk pemikiran serta pemahaman masing-masing imam terhadap hukum-hukum Agama yang disumberkan pada Al-Quran dan hadist. Pemahaman para imam madzhab dalam menentukan suatu hukum sedikit banyak telah dipengaruhi situasi dan kondisi masyarakat setempat pada saat itu. Itu dibuktikan dengan adanya perbedaan hasil penetapan hukum oleh imam satu dengan yang lain terhadap perkara yang sama. Bahkan salah satu imam madzhab berbeda dalam menetapkan hukum suatu perkara di dua tempat yang berbeda. Hal inilah yang dilakukan oleh Imam Syafi’i yang kemudian hasil pemahamannya itu dikenal dengan qaul qodim dan qaul jadid.
Pengaruh kontekstual dalam penetapan hukum merupakan hal yang wajar bahkan konteks menjadi rujukan penting dalam pertimbangan para imam madzhab dalam menetapkan hukum. Kendati bagaimanapun, perbedaan yang terjadi di kalangan imam madzhab —dalam menetapkan hukum—masih dalam wilayah furu’ dari Agama. Oleh karena itu, fiqih bersifat dinamis menyesuaikan konteks yang ada.
Dalam sejarah keilmuan, produk fiqih para imam madzhab merupakan salah satu komponen kebangkitan keilmuan pada masa  dinasti Usmani. Umat Islam dituntut membuka pikiran mereka untuk menghasilkan sebuah produk keilmuan yang baru. Kerjasama antara bangsa Arab dan Yunani —yang terdahulu belum pernah terjalin— pada masa ini terjalin dengan baik. Take and give tentang keilmuan terasa menghapus dikotomi yang ada sejak lama. Dan fiqih —sebagai produk keilmuan— menjadi yurisprudensi bagi umat Islam pada saat itu.
Namun kejayaan dinasti Usmani tidak berlangsung lama. Keadaan berubah jauh beberapa tahun setelah periode para imam madzhab. Penyakit pragmatisme yang menjalar pada sebagian ulama Islam sedikit demi sedikit membuka pintu kehancuran. Pragmatis terhadap keilmuan yang hanya berbau agama menyingkirkan ilmu-ilmu umum. Bahkan ilmu-ilmu umum diclaim sebagai ilmu duniawi yang tidak harus dipelajari. Terlebih ilmu tersebut diadopsi dari kalangan kafir dan Barat.
Tidak cukup itu, adanya statement bahwa pintu ijtihad telah tertutup dengan alasan ketidakmampuan dalam memahami suatu permasalahan hukum sebagaimana yang dilakukan para imam madzhab, benar-benar  mengubah struktur keilmuan yang dulu pernah jaya. Umat Islam menjadi beku dalam berpikir, tidak ada lagi mahakarya keilmuan yang baru, laju pengembangan keilmuan hanya jalan di tempat, semuanya hanya mengikuti produk lama yang dianggap sudah cukup memenuhi kebutuhan hukum pada saat itu. Sehingga yang muncul hanya syarah dari produk para imam madzhab. Dan fiqih yang awalnya bersifat dinamis berubah menjadi statis.
Kemunduran umat Islam tersebut berdampak vital. Sifat pragmatis terhadap ilmu agama dengan mengenyampingkan ilmu-ilmu umum membuat umat Islam salah dalam mengambil langkah. Produk keilmuan lama yang dipegang erat tampak tidak lagi mampu mengisi kebutuhan hukum umat. Sehingga menjadikan umat Islam jatuh pada perbuatan takhayul, bid’ah dan khurafat. Tiga hal inilah yang kemudian menjadi faktor munculnya tokoh-tokoh pembaharuan dalam Islam.
Misalnya, Muhammad bin Abdul Wahhab dengan gerakan purifikasinya yang terbilang sangat radikal menyerang praktik keagamaan populer yang dianggap telah melenceng (bid’ah) dari ajaran yang dibawa Nabi Muhammad. Terlebih Abdul Wahhab mendapat dukungan dari penguasa Arab Saudi pada saat itu, Muhammad ibnu Sa’ud. Sehingga Abdul Wahhab dapat menyebarkan gagasannya dengan cara yang keras bahkan bersifat militer. Hasilnya, jazirah Arab dapat dikuasai dan paham yang dibawa Abdul Wahhab menjadi paham resmi kerajaan.
Walaupun pemikiran dan gagasan-gagasan yang dibawa Abdul Wahhab bersifat radikal dan mendapat banyak kecaman dari beberapa ulama, paling tidak gerakan tajdid yang dia pelopori membuka jalan menuju arah moderenitas bagi para ulama setelahnya. Misalnya, Abduh dan Rasyid Ridho yang mencanangkan bahwa terbukanya kembali pintu ijtihad dan perlunya kembali kepada Al-Quran dan Sunnah. Pemikiran modern inilah yang kemudian mengembalikan produk fiqih kepada kedudukannya, yang semula fiqih itu dinamis kemudian menjadi statis lalu kembali lagi dinamis. Allahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar