Cari Blog Ini

Selasa, 24 Mei 2011

Kekuasaan Negara Indonesia Dalam Perspektif Islam


Di dalam bukunya yang berjudul Islam dan Tata Negara, Munawir Sjadzali membagai umat Islam menjadi tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa  Islam bukanlah agama yang semata hanya menyangkut hubungan manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna dan mencakup segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. Beberapa tokoh yang sependapat antara lain Syekh Hasan Al-Banna, Sayyid Quthb dan Maulana Al-Madudi. 

Aliran kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama yang di dalamnya tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Tokoh terkemuka dalam aliran ini antara lain Ali Abd Al-Raziq dan Dr. Thaha Husein.

Sedangkan aliran yang ketiga berpendirian bahwa Islam adalah agama yang serba lengkap yang memiliki seperangkat tatanan etika bagi kehidupan bernegara namun tidak terdapat di dalamnya sistem ketatanegaraa. Aliran ini juga menolak anggapan Islam hanya mengatur hubungan manusia dan Maha Penciptanya. Di antara tokoh yang paling menonjol dari aliran ini adalah Dr. Mohammad Husein Haikal.

Terkait tentang hubungan antara Islam dan tata negara serta awal mula munculnya negara dan kekusaan, beberapa pemikir politik Islam, baik pada zaman klasik maupun pemikir kontemporer saat ini memiliki pendapat yang berbeda dari satu sisi dan sama dari sisi yang lain.  

Ibnu Abi Rabi’ berpendapat bahwa Allah menciptakan manusia dengan watak kecendrungan untuk berkumpul, bermasyarakat dan saling membutuhkan.

Farobi berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang memiliki kecendrungan bermasyrakat karena tidak mampu memenuhi segala kebutuhannya sendiri.

Mawardi berpendapat bahwa Allah menciptakan manusia agar tidak sanggup memenuhi kebutuhannya orang-seorang. Manusia adalah makhluk yang paling memerlukan bantuan pihak lain.

Ghazali berpendapat bahwa manusia adalah makhlik sosial yang butuh dengan bantuan orang lain dalam berketurunan dan membantu menyediakan bahan makanan.

Dari pendapat pemikir klasik di atas terkesan mirip satu sama lain dan tampak serupa dengan pendapat Plato dengan teori etikanya. Namun para pemikir Islam klasik memasukkan paham ketuhanan yang itu tidak dilakukan Plato.

Jauh setelah zaman klasik, para pemikir politik Islam kontemporer memiliki pendapat lain. Al-Afghani, Abduh dan Rasyid Ridho (ketiganya memiliki hubungan guru murid) memiliki pendapat serupa dengan Sayyid Quthb dan kalangan Ikhwan Al-Muslimin yaitu Islam adalah agama yang sempurna dengan petunjuk yang mengatur segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu Islam sebagai agama yang diridhoi Allah, dalam bernegara hukum Allah pula sebagai aturan yang berlaku dalam suatu negara. Pendapat ini tampak serupa dengan teori teokrasi tidak langsung (civitas dei).

Muhammad Abduh, meskipun mempunyai konsep yang utuh namun beliau berpendirian serupa dengan Muhammad Husain Haikal yaitu, tidak ada lembaga yang memegang kekuasaan dan mempuyai kewenangan sebagai wakil Tuhan di bumi. Baginya kepala negara adalah seorang penguasa sipil yang diangkat dan dapat diberhentikan oleh rakyat dan kepada mereka dia bertanggung jawab. Hal ini tampak serupa dengan teori perjanjian yang dikeluarkan oleh J.J. Rousseau. Negara yang lahir dari konstruksi J.J. Rousseau disebut negara demokrasi.

Dari berbagai pendapat para pemikir politik Islam kalasik dan kontemporer, penulis lebih memilih untuk memadukan beberpa konstruk mereka. Sebagaimana pendapat Inu Kencana Syafi’e di dalam bukunya Ilmu Pemerintahan dan Al-Quran, bahwa negara berdiri atas kemauan warganya juga karena izin dan kuasa dari Allah jua. Jadi, negara itu sendiri pada dasarnya statis dan deskriptif, namun pemerintahannya dinamis. Atau juga disebut dengan nagara dengan kekuasaan teokrasi (tidak langsung) demokratis.

Indonesia merupakan negara mayoritas penduduk muslim terbesar. Dalam sejarahnya, paham keagamaan di Indonesia —jauh sebelum penjajahan Belanda— dimotori oleh kalangan modernis dan tradisionalis. Dikotomi kaum modernis-tradisionalis yang semula pada ranah keagamaan, kemudian merambat kepada budaya, sosial dan politik. Bahkan dalam beberapa tahun mendekati hari kemerdekaan Indonesia, kontras pergolakan politik lebih eksplisit daripada paham keagaaman. Hal itu masih terlihat sampai sekarang, setelah 65 tahun Indonesia merdeka.

Perjalanan politik Indonesia menuju kemerdekaan —menjadi sebuah negara— tidak lepas dari jajahan diktator Belanda. Sehingga penduduk Indonesia yang ingin keluar dari repreasi Belanda menginginkan sebuah kemerdekaan yang konstitusional. Hal tersebut terwujud saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya dan memilik sebuah pemerintahan yang pada saat itu dipimpin oleh Soekarno dan Hatta.  

Proses terbentuknya Indonesia sebagai negara, menurut singkat penulis adalah proses yang timbul karena penduduk Indonesia telah mengalahkan penjajah dan penduduk Indonesia menginginkan kemerdekaan Indonesia agar terlepas dari jajahan diktator Belanda. Dua proses yang dikedepankan penulis dalam teori tentang asal usul negara disebut teori penaklukan (kekuatan) dan teori historis. Namun tidak cukup itu, penulis sebagai seorang muslim yang memiliki ideologi bahwa Islam sebagai agama yang sempurna maka kemerdekan Indonesia dari jajahan Belanda tidak lepas atas kehendak Allah SWT.

Maka kemerdekaan Indonesia menjadi sebuah negara yang memiliki konstitusi pasca penjajahan Belanda pada dasarnya melalui kekuatan pembelaan penduduk Indonesia yang historis dan teokratis. Hal ini didasari atas firman Allah dalam Al-Quran tentang teori penaklukan yang artinya.

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya, tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah . . . . (QS. Al-Hujuraat: 9)

Dan teori historis yang didasari kemauan  dan tututan penduduk Indonesia untuk memiliki negara yang merdeka, sebagaimana Allah berfirman.

. . . . sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri . . . . (QS. Ar-Ra’du: 11)

Dan semua yang terjadi di alam ini adalah kehendak Allah.

Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada Manusia. (QS. Al-Hajj: 65)

Allahua'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar